Senin, 08 Agustus 2016

Setengah Abad Majalah Horison


JAKARTA – Siapa yang tidak tahu Majalah Horison? Setiap orang pasti pernah melihat, membaca, atau mendengar namanya. Ya, majalah sastra ini dihadirkan oleh pendirinya untuk mewadahi para penikmat karya sastra dan kebudayaan. Bahkan lebih dari itu, majalah ini hadir mengisi ruang-ruang jenuh dari euforia politik, hingar-bingar kebudayaan, dan karut-marut harga pangan. Namun, semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan roda nasib kehidupan yang terus berjalan.

Pada Sabtu (26/7/2016) sekitar pukul 13.00 WIB, di Gedung Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, berlangsung acara 50 tahun Majalah Horison. Beberapa pentolan sastrawan dan seniman TIM hadir memadati ruangan tersebut, seperti Joni Ariadinata, Agus Sarjono, Jamal D Rahman, Kurnia Efendi, dan lainnya. Bahkan para tokoh nasional pun tidak mau ketinggalan ambil bagian hadir dalam gelaran tersebut di antaranya, Dedi Miing, Fadlizon (anggota DPR), dan Fasli Jalal (mantan Wamendikbud era SBY).
Selain itu, hadir pula keluarga Almarhum Muchtar Lubis (pendiri Majalah Horison) dan undangan lainnya yang didominasi para orang tua lanjut usia duduk di kursi besi bercat kuning emas tersebut. Kemungkinan mereka adalah pembaca setia majalah tersebut dari generasi ke generasi.
Acara dibuka dan dipandu Jamal D Rahman (Redaktur Majalah Horison dan sastrawan) dengan diawali pengantar sejarah berdirinya Majalah Horison oleh Pak Taufiq Ismail. “Pada tahun 1966, saya, Ras, dan Arief bertemu dengan Mochtar Lubis yang memiliki tinggi badan 180 dan gagah itu. Sementara kami sastrawan bertubuh kecil dan kere. Kami memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud agar mempertimbangkan menerbitkan majalah bulanan sastra,” kata Pak Taufiq terkekeh menceritakan kejadian waktu pertama kali akan menerbitkan majalah sastra.
“Selama lima puluh tahun terbit majalah ini. Persiangan media cetak semakin pesat sehingga banyak hal yang harus mengeluarkan biaya. Kenapa tidak dilirik swasta dan harus negara yang tanggung? Pada tiap-tiap tulisan yang terbit di Majalah Horison berisi studi-studi tentang kebudayaan daerah dan sastra. Karena itu negara harus ikut membantu. Sebab majalah sastra juga ikut mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Pak Taufiq.
Ketika mengakhiri pembacaan pengantar sejarah Majalah Horison, Pak Taufiq Ismail tak kuasa membendung kesedihan hingga meneteskan air mata. Dia berharap majalah yang sudah dirintis setengah abad ini tidak lekang dimakan zaman dan ditinggalkan generasi pembacanya.
Acara selanjutnya musikalisasi puisi oleh Arie Malibu dan Shallini. Kemudian pembacaan cerita pendek berjudul Paidon oleh Joni Ariadinata selaku sastrawan dari Yogyakarta. Joni Ariadinata membacakan cerpen dengan atraktif dan kocak karena cerpen ini berisi tentang cerita tokoh Paidon yang mendapatkan keberkahan pada bulan Ramadan atau malam seribu bulan (Lailatulqadar). Para hadirin ikut tertawa lucu dan ada juga berkerut kening sambil mengangguk-angguk pesan moral dari cerpen yang dibacakan tersebut.
Selesai pembacaan cerpen oleh Joni Ariadinata dilanjutkan dengan musikalisasi puisi oleh Maghni Alvira dari mahasiswa ITB. Maghni membawakan musikalisasi puisi Beri Daku Sumba karya Taufiq Ismail dengan iringan musik keyboard yang juga dimainkannya.

Dari Cetak ke Online
Selepas hiburan musikalisasi puisi, pemandu acara Jamal D Rahman memanggil Sastri Sunarti selaku pemimpin redaksi Horisononline terbaru agar memperkenalkan diri. Karena pemimpin redaksi sebelumnya, Amin Sweeney, telah berpulang diikuti pengurus admin Horisononline, Agus Aryanto, yang juga telah almarhum.
“Saya menjadi pemimpin redaksi karena takdir. Sebab pemimpin redaksi yang dulu Amin Sweneey juga takdir menjadi suami saya telah tiada. Kemudian diikuti Agus Ariyanto sebagai pengurus admin Horisononline juga ikut menyusul membawa password untuk mengakses laman tersebut. Karena itu, Horisononline ada sejak tahun 2010 dan sampai sekarang dengan tampilan baru, ingin mendokumentasikan tulisan-tulisan yang terbit di majalah cetak ke media digital,” kata Sastri yang juga pegawai di Badan Bahasa Pusat tersebut.
Menurutnya, Majalah Horison tidak akan pernah mati, tetapi hanya medianya saja dipindah ke medium digital sehingga mudah diakses. Karena memang selama ini Majalah Horison identik dengan cetak hingga merambah dari tiap generasi ke generasi yang usianya sudah setengah abad ini. Kemudian Sastri meminta Pak Taufiq Ismail dan Ibu Iti Ismail untuk meresmikan laman Horisononline yang baru sebagai dibukanya majalah digital tersebut ke publik.
Sebelum menuju puncak acara, yakni orasi budaya oleh Kiai Kanjeng Emah Ainun Najib. Ditampilkan film sejarah Majalah Horison dan berikut komentar-komentar para tokoh muda dan tokoh besar di film tersebut. Sebagian besar para komentar dalam film tersebut berharap Majalah Horison versi cetak tetap eksis mengisi ruang-ruang pemikiran tentang sastra sebagai representasi kehidupan bermasyarakat.
Pada akhir acara 50 tahun Majalah Horison diisi orasi budaya oleh Emha Ainun Najib sekaligus menutupnya dengan doa. Dalam orasi tersebut Emha merasa antara tidak rela dan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab majalah sastra yang telah mengisi ruang-ruang sastra di sekolah maupun para pembacanya, tidak lagi bisa digenggam secara utuh dan nyata.
“Apakah aku harus sedih atau bergembira dengan 50 tahun Majalah Horison ini. Karena acara ini adalah akhir dari majalah cetak Horison. Sebab aku lebih suka membaca dengan kertas seperti halnya membaca Alquran. Jadi membaca Majalah Horison hampir sama dengan membaca Alquran. Karena puisi-puisi aku yang pernah dimuat di majalah ini, ibaratnya dapat hadiah haji,” kata Emha mengawali orasinya.
Namun, Emha akhirnya memulai orasi bukan dengan kesedihan dan juga bukan dengan kegembiraan, tetapi dengan biasa dia lakukan sebagai orator yang mecintai sastra. Dalam orasinya, Emha telah menulis manuskrip orasi sebanyak lima belas lembar sebagai bahan yang akan dibicarakan. Isi dari manuskrip tersebut, salah satunya menyinggung generasi milenia.
“Aku memahami bahwa pada era sekarang bukan lagi eranya kita, para orang tua. Tetapi era para generasi milenia yang serba teknologi canggih. Mungkin di situ majalah sastra ini beralih ke media digital. Namun, aku yakni sastra bisa menjadi bagian yang lebih istimewa di mana pun berada,” ujarnya sekaligus menutup orasi dengan doa penutup acara 50 Tahun Majalah Horison.
Kini Majalah Horison tak lagi tampak sebagai majalah dengan bentuk cetak, tetapi beralih menjadi majalah digital. Memang amat disayangkan dengan peralihan ini. Padahal selama perjalanan cetak Majalah Horison telah melahirkan para penulis, pembaca, dan juga sastrawan. Karena majalah itu telah menjadi rujukan sebagai bahan wawasan kesusastraan di negeri ini. (Muhzen)

   
    

Tidak ada komentar: