Pada Sabtu
(26/7/2016) sekitar pukul 13.00 WIB, di Gedung Cipta II Taman Ismail Marzuki,
Jakarta Pusat, berlangsung acara 50 tahun Majalah Horison. Beberapa pentolan
sastrawan dan seniman TIM hadir memadati ruangan tersebut, seperti Joni
Ariadinata, Agus Sarjono, Jamal D Rahman, Kurnia Efendi, dan lainnya. Bahkan
para tokoh nasional pun tidak mau ketinggalan ambil bagian hadir dalam gelaran
tersebut di antaranya, Dedi Miing, Fadlizon (anggota DPR), dan Fasli Jalal
(mantan Wamendikbud era SBY).
Selain
itu, hadir pula keluarga Almarhum Muchtar Lubis (pendiri Majalah Horison) dan
undangan lainnya yang didominasi para orang tua lanjut usia duduk di kursi besi
bercat kuning emas tersebut. Kemungkinan mereka adalah pembaca setia majalah
tersebut dari generasi ke generasi.
Acara dibuka
dan dipandu Jamal D Rahman (Redaktur Majalah Horison dan sastrawan) dengan
diawali pengantar sejarah berdirinya Majalah Horison oleh Pak Taufiq Ismail.
“Pada tahun 1966, saya, Ras, dan Arief bertemu dengan Mochtar Lubis yang
memiliki tinggi badan 180 dan gagah itu. Sementara kami sastrawan bertubuh
kecil dan kere. Kami memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud agar
mempertimbangkan menerbitkan majalah bulanan sastra,” kata Pak Taufiq terkekeh
menceritakan kejadian waktu pertama kali akan menerbitkan majalah sastra.
“Selama
lima puluh tahun terbit majalah ini. Persiangan media cetak semakin pesat
sehingga banyak hal yang harus mengeluarkan biaya. Kenapa tidak dilirik swasta
dan harus negara yang tanggung? Pada tiap-tiap tulisan yang terbit di Majalah
Horison berisi studi-studi tentang kebudayaan daerah dan sastra. Karena itu
negara harus ikut membantu. Sebab majalah sastra juga ikut mencerdaskan
kehidupan bangsa,” ujar Pak Taufiq.
Ketika
mengakhiri pembacaan pengantar sejarah Majalah Horison, Pak Taufiq Ismail tak
kuasa membendung kesedihan hingga meneteskan air mata. Dia berharap majalah
yang sudah dirintis setengah abad ini tidak lekang dimakan zaman dan
ditinggalkan generasi pembacanya.
Acara
selanjutnya musikalisasi puisi oleh Arie Malibu dan Shallini. Kemudian
pembacaan cerita pendek berjudul Paidon oleh Joni Ariadinata selaku sastrawan
dari Yogyakarta. Joni Ariadinata membacakan cerpen dengan atraktif dan kocak
karena cerpen ini berisi tentang cerita tokoh Paidon yang mendapatkan
keberkahan pada bulan Ramadan atau malam seribu bulan (Lailatulqadar). Para
hadirin ikut tertawa lucu dan ada juga berkerut kening sambil mengangguk-angguk
pesan moral dari cerpen yang dibacakan tersebut.
Selesai
pembacaan cerpen oleh Joni Ariadinata dilanjutkan dengan musikalisasi puisi
oleh Maghni Alvira dari mahasiswa ITB. Maghni membawakan musikalisasi puisi
Beri Daku Sumba karya Taufiq Ismail dengan iringan musik keyboard yang
juga dimainkannya.
Dari Cetak
ke Online
Selepas
hiburan musikalisasi puisi, pemandu acara Jamal D Rahman memanggil Sastri
Sunarti selaku pemimpin redaksi Horisononline terbaru agar memperkenalkan diri.
Karena pemimpin redaksi sebelumnya, Amin Sweeney, telah berpulang diikuti
pengurus admin Horisononline, Agus
Aryanto, yang juga telah almarhum.
“Saya
menjadi pemimpin redaksi karena takdir. Sebab pemimpin redaksi yang dulu Amin
Sweneey juga takdir menjadi suami saya telah tiada. Kemudian diikuti Agus
Ariyanto sebagai pengurus admin
Horisononline juga ikut menyusul membawa password untuk mengakses laman
tersebut. Karena itu, Horisononline ada sejak tahun 2010 dan sampai sekarang
dengan tampilan baru, ingin mendokumentasikan tulisan-tulisan yang terbit di
majalah cetak ke media digital,” kata Sastri yang juga pegawai di Badan Bahasa
Pusat tersebut.
Menurutnya,
Majalah Horison tidak akan pernah mati, tetapi hanya medianya saja dipindah ke
medium digital sehingga mudah diakses. Karena memang selama ini Majalah Horison
identik dengan cetak hingga merambah dari tiap generasi ke generasi yang
usianya sudah setengah abad ini. Kemudian Sastri meminta Pak Taufiq Ismail dan
Ibu Iti Ismail untuk meresmikan laman Horisononline yang baru sebagai dibukanya
majalah digital tersebut ke publik.
Sebelum
menuju puncak acara, yakni orasi budaya oleh Kiai Kanjeng Emah Ainun Najib.
Ditampilkan film sejarah Majalah Horison dan berikut komentar-komentar para
tokoh muda dan tokoh besar di film tersebut. Sebagian besar para komentar dalam
film tersebut berharap Majalah Horison versi cetak tetap eksis mengisi
ruang-ruang pemikiran tentang sastra sebagai representasi kehidupan
bermasyarakat.
Pada akhir
acara 50 tahun Majalah Horison diisi orasi budaya oleh Emha Ainun Najib
sekaligus menutupnya dengan doa. Dalam orasi tersebut Emha merasa antara tidak
rela dan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab majalah sastra yang telah
mengisi ruang-ruang sastra di sekolah maupun para pembacanya, tidak lagi bisa
digenggam secara utuh dan nyata.
“Apakah
aku harus sedih atau bergembira dengan 50 tahun Majalah Horison ini. Karena
acara ini adalah akhir dari majalah cetak Horison. Sebab aku lebih suka membaca
dengan kertas seperti halnya membaca Alquran. Jadi membaca Majalah Horison
hampir sama dengan membaca Alquran. Karena puisi-puisi aku yang pernah dimuat
di majalah ini, ibaratnya dapat hadiah haji,” kata Emha mengawali orasinya.
Namun,
Emha akhirnya memulai orasi bukan dengan kesedihan dan juga bukan dengan
kegembiraan, tetapi dengan biasa dia lakukan sebagai orator yang mecintai
sastra. Dalam orasinya, Emha telah menulis manuskrip orasi sebanyak lima belas
lembar sebagai bahan yang akan dibicarakan. Isi dari manuskrip tersebut, salah
satunya menyinggung generasi milenia.
“Aku
memahami bahwa pada era sekarang bukan lagi eranya kita, para orang tua. Tetapi
era para generasi milenia yang serba teknologi canggih. Mungkin di situ majalah
sastra ini beralih ke media digital. Namun, aku yakni sastra bisa menjadi
bagian yang lebih istimewa di mana pun berada,” ujarnya sekaligus menutup orasi
dengan doa penutup acara 50 Tahun Majalah Horison.
Kini
Majalah Horison tak lagi tampak sebagai majalah dengan bentuk cetak, tetapi
beralih menjadi majalah digital. Memang amat disayangkan dengan peralihan ini.
Padahal selama perjalanan cetak Majalah Horison telah melahirkan para penulis,
pembaca, dan juga sastrawan. Karena majalah itu telah menjadi rujukan sebagai
bahan wawasan kesusastraan di negeri ini. (Muhzen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar