Senin, 08 Agustus 2016

Diskusi Mengupas Eyang Habibie


JAKARTA – Membicara eyang tidak akan pernah cukup dalam satu sudut pandang. Apalagi menuliskan setiap jejak hidupnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Sosok eyang satu ini memang berbeda. Meskipun bertubuh tidak tinggi, tetapi eyang ini memiliki otak yang besar (cerdas), pendirian kuat, dan semangat kokoh meraih cita-citanya demi kemajuan bangsa. Ia adalah Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie).

Pada pagi itu, Minggu (7/82016) sekitar pukul 10.00 WIB, Eyang Habibie memang tidak hadir di ruang Museum Bank Mandiri. Namun, namanya disebut-sebut oleh dua orang narasumber dalam sesi I Diskusi Publik Menggali Insiprasi dari 80 Tahun Habibie dengan tema “Mengulik Kepribadian Eyang Habibie dalam Meraih Sukses” yang diselenggarakan Friends of Mandiri dan Forum Lingkar Pena DKI Jakarta.
“Berbicara tentang beliau memang tidak pernah cukup. Seperti hal saya menuliskan riwayat beliau. Saya bersama tim penulis menulis buku Habibie The Series untuk mendokumentasikan kiprah beliau yang memotivasi dan menginspirasi,” kata Andi Makmur Makka selaku narasumber dan pengurus Habibie Center.
Menurut Andi, setiap ulang tahun selalu memberi kejutan dengan menuliskan buku tentang beliau. Meskipun Eyang Habibie pun ikut menuliskan tentang kisah hidup dan cintanya bersama almarhum istrinya (Hasri Ainun Habibie) berjudul Habibie&Ainun yang laris terjual hingga difilmkan dengan judul sama menembus sekitar 5 juta penonton. Selain itu, kata dia, ternyata Ibu Ainun itu adalah penggemar sinetron Cinta Fitri. Itu keunikan yang tidak diketahui selama ini.
“Karena itu, pada usia beliau menginjak 80 tahun. Saya berpikir agar bisa menerbitkan buku tentang beliau. Saya dibantu tim penulis lainnya mengumpulkan data dan riset tentang beliau. Setelah jadi, saya mencari penerbit yang mau menerbitkankan sehingga bertemulah Penerbit Tiga Serangkai, Solo,” ujarnya yang kini menjabat Staf Ahli Menristek.
Sementara Sutanto Sastrareja selaku tim penulis mengatakan, penulis buku Habibie The Series ini hanya selama dua bulan. Saat itu Sutanto sedang ada di Kota Toulouse, Prancis.
“Eyang Habibie ini ibarat fungsi dalam sebuah teori matematika dan juga fungsi dalam pemikiran. Saya sebelum menulis buku ini, menulis beberapa catatan tentang beliau dan diunggah ke media sosial agar orang tahu. Anak saya tahu Pak Habibie itu dari film Habibie&Ainun. Andai saja tidak ada film tersebut, mungkin ketokohan beliau yang besar akan tenggalam, maka buku dan film mendokumetasi beliau agar generasi bangsa ini mengambil semangat, kerja keras, dan sisi positif beliau,” ujarnya yang juga dosen UNS Solo ini.
Selain itu, Sutanto menjelaskan kesuksesan Eyang Habibie karena beliau memiliki tiga kemampuan, yakni kemampuan akademik yang baik, kemampuan psikologis nasionalis yang selalu cinta pada negeri ini, dan kemampuan sosiologis yang mudah berbaur untuk berdiskusi.
Boim Lebon (penulis buku novel) yang menjadi moderator diskusi publik tersebut membuka dua termin pertanyaan untuk para peserta yang hadir sekitar 60 tersebut. Karena banyak yang bertanya, maka diambil empat penanya. Setiap peserta menanyakan hal tidak jauh dari kiprah Eyang Habibie, seperti selama berkuasa menjadi presiden (setahun lima bulan), semangat etos belajar yang kuat, mengubah pola pikir generasi pemuda yang malas, dan terkait pelepasan Timor Timur (Timor Leste).
“Selama berkuasa beliau berbuat banyak dengan kebijakan-kebijakannya. Tapi, coba kita bandingkan dengan dua periode SBY memimpin. Hitung-hitung kenaikan indeks ekonomi negara saat beliau memimpin sempat turun 0,5% namun setelah itu naik menjadi 5%. Hal itu hampir sama saat SBY memimpin kenaikan indeks ekonomi negera, yakni 7%. Seandainya beliau tidak dilengserkan mungkin akan berbeda jadinya. Kemudian terkait Timor Leste. Persoalannya bukan melepaskannya, tetapi HAM. Sebab saat Timor Leste masih bergabung dengan NKRI, kita di mata dunia tidak bisa tegak. Karena badan HAM dunia menganggap kita ini penjajah. Nah, dari situ persoalannya,” ujar Sutanto.
Sementara Andi menjawab bahwa semangat beliau yang tinggi dalam belajar dan bekerja keras karena punya harapan besar untuk memberi perubahan terhadap bangsa dan negara ini. “Selain itu, beliau memiliki kepercayaan diri tinggi dengan status kebangsaannya di depan orang-orang Barat, maka beliau tidak takut,” ujarnya.
“Terkait generasi malas, kita harus bercermin pada apa yang dilakukan beliau. Ibaratnya, kita mengendarai mobil itu kalau ada orang di depan harus mengerem untuk menghindari tabrakan. Artinya kita jangan asal tabrak segala informasi yang buruk, tetapi harus mengkroscek segala sesuatunya. Beliau itu tipe orang suka meneliti, menganalisis, dan mencari apa yang tidak diketahui. Karena itu, generasi muda jangan malas dan harus terus berupaya belajar,” kata Sutanto.      
Keempat pertanyaan dari empat peserta tersebut dijawab dengan baik oleh dua narasumber hingga acara diskusi sesi I ini pun selesai ditutup sekitar pukul 12.00 WIB. (Muhzen)      




Tidak ada komentar: