Perkembangan ilmu teknologi tidak bisa dimungkiri terus
merambah hampir seluruh penjuru dunia. Berbagai model benda canggih seakan telah menggantikan kebutuhan pokok primer kita
dalam kehidupan ini. Buktinya, banyak sebagian orang tidak bisa lepas dari gadget yang terus membayangi ke mana pun mereka berada. Hal paling kecil, misalnya, ketika akan
melaksanakan ibadah salat di masjid, tetapi ponsel tidak bisa lepas dari
genggaman tangan atau saku kantong pakaian. Hal itu menandakan bahwa kita telah
terhegemoni oleh modernitas sehingga berpengaruh, baik positif maupun negatif.
Pengaruh positifnya, kita masih terhubung dengan dunia luar yang secara komunikasi lebih simpel
karena tinggal kirim SMS, telepon, ataupun terkoneksi dengan dunia jaring (daring). Pengaruh negatif,
kita menjadi orang asing karena sibuk dengan benda tersebut sehingga
mengurangi tegur sapa antarteman, kolega, saudara, bahkan anak terhadap orang tua.
Hal ini tidak baik secara sosial karena berpengaruh juga secara perilaku atau psikologis, terutama dalam berbahasa.
Berbicara tentang bahasa berarti kita mengenal simbol
bunyi kata (fonologi) dan tanda (sign) maupun ikon. Namun, makna umum bahasa
adalah bahasa sebagai alat komunikasi antarmanusia. Meskipun bahasa tersebut tidak selamanya memiliki persamaan (merujuk
latar belakang sosial, budaya, suku, dan daerah/negara).
Bahasa menjadi hal penting dalam kehidupan manusia untuk
menjalin hubungan sosial (manusia dengan manusia) dan spiritual (manusia dengan
Tuhan). Sebab tanpa bahasa, dunia ini akan sunyi dan masa depan hidup umat manusia menjadi suram. Karena itu, adanya peradaban dan
budaya pun tidak lepas dari pengaruh kebiasaan manusia berbahasa. Kemudian
kita mengenal bahasa asal (bahasa ibu/pertama), bahasa nasional (bahasa kedua),
dan bahasa internasional (bahasa ketiga).
Bahasa asal adalah bahasa pertama kali didengarkan ibu kepada
anaknya ketika
masih dalam kandungan hingga lahir di dunia. Dengan kata lain, ibu sebagai orang pertama yang
mengajarkan kita tentang bahasa sehingga disebutlah bahasa ibu. Jika tidak
mengenal bahasa dasar atau bahasa ibu, tentu kita tidak akan pernah berbahasa. Sebab pendidikan pertama yang didapatkan anak datang
dari pola asuh seorang ibu. Dengan begitu, terjadi
transformasi bahasa dari ibu kepada anaknya atau pemerolehan bahasa yang
didapatkan si anak (tidak disengaja, tidak terbatas ruang, dan waktu).
Kemudian bahasa nasional adalah bahasa kedua setelah anak memahami bahasa ibu. Bahasa kedua ini biasanya didapatkan ketika anak duduk di lembaga pendidikan dan diajarkan berdasarkan sistem pendidikan
kelas (pembelajaran bahasa). Karena ketika anak beranjak usia lima tahun
kemudian masuk PAUD/TK, biasanya guru memberikan alat ajar agar anak bisa
membaca dan mengenal huruf. Hal itu berlanjut sampai anak beranjak
remaja mengenyam pendidikan sekolah. Sementara bahasa internsional adalah bahasa
ketiga ketika anak sudah memahami bahasa pertama atau bahasa kedua yang
kemudian bahasa ketiga ini didapatkan berdasarkan pembelajaran bahasa, baik di sekolah maupun di tempat kursus/buku.
Namun, ibu pada zaman sekarang (ibu modern) kebanyakan khawatir atau malu bila anaknya diajarkan bahasa asal (berdasarkan asal si ibu secara sosial, adat, dan suku) sehingga
memberikan bahasa pertama kepada anaknya menggunakan bahasa kedua atau bahasa
ketiga. Hal itu terjadi di kalangan ibu yang tinggal di perkotaan (urban). Sementara
para ibu yang di pelosok desa justru masih mengajarkan anaknya
dengan bahasa asal. Inilah pergesekan antarbahasa pertama dan bahasa kedua
terjadi. Padahal Indonesia adalah negara kaya dengan beragam budaya, adat, dan
suku, salah satunya bahasa. Karena keberagaman bahasa tersebut, maka Indonesia
penyumbang bahasa daerah terbanyak kedua (741) setelah Papua Nugini (820).
Artinya tonggak pelestari bahasa tersebut bergantung
kepada sosok ibu yang mengajarkan bahasa pertama kepada anaknya (regenerasi
penutur bahasa). Dengan begitu, bahasa ibu tidak akan punah bersama
perkembangan zaman yang semakin pesat.
Bisa saja sosok ibu modern mengajarkan anaknya dengan
ketiga bahasa tersebut (bahasa ibu, bahasa nasional, dan bahasa internasional) sehingga ketiga bahasa tersebut bisa berkembang beriringan satu sama lain,
tanpa saling terhegemoni. Karena dominasi antarbahasa justru akan mempersempit
perkembangan bahasa lainnya, terutama bahasa ibu yang secara penutur mulai
punah.
Kebonsiri, 2015
Muhzen Den lahir di Kampung Ciloang, Kota Serang, dan aktif di Rumah Dunia.
Muhzen Den lahir di Kampung Ciloang, Kota Serang, dan aktif di Rumah Dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar