Kamis, 04 Februari 2016

IBU SEBAGAI TONGGAK BAHASA

Perkembangan ilmu teknologi tidak bisa dimungkiri terus merambah hampir seluruh penjuru dunia. Berbagai model benda canggih seakan telah menggantikan kebutuhan pokok primer kita dalam kehidupan ini. Buktinya, banyak sebagian orang tidak bisa lepas dari gadget yang terus membayangi ke mana pun mereka berada. Hal paling kecil, misalnya, ketika akan melaksanakan ibadah salat di masjid, tetapi ponsel tidak bisa lepas dari genggaman tangan atau saku kantong pakaian. Hal itu menandakan bahwa kita telah terhegemoni oleh modernitas sehingga berpengaruh, baik positif maupun negatif.

Pengaruh positifnya, kita masih terhubung dengan dunia luar yang secara komunikasi lebih simpel karena tinggal kirim SMS, telepon, ataupun terkoneksi dengan dunia jaring (daring). Pengaruh negatif, kita menjadi orang asing karena sibuk dengan benda tersebut sehingga mengurangi tegur sapa antarteman, kolega, saudara, bahkan anak terhadap orang tua. Hal ini tidak baik secara sosial karena berpengaruh juga secara perilaku atau psikologis, terutama dalam berbahasa.
Berbicara tentang bahasa berarti kita mengenal simbol bunyi kata (fonologi) dan tanda (sign) maupun ikon. Namun, makna umum bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi antarmanusia. Meskipun bahasa tersebut tidak selamanya memiliki persamaan (merujuk latar belakang sosial, budaya, suku, dan daerah/negara).
Bahasa menjadi hal penting dalam kehidupan manusia untuk menjalin hubungan sosial (manusia dengan manusia) dan spiritual (manusia dengan Tuhan). Sebab tanpa bahasa, dunia ini akan sunyi dan masa depan hidup umat manusia menjadi suram. Karena itu, adanya peradaban dan budaya pun tidak lepas dari pengaruh kebiasaan manusia berbahasa. Kemudian kita mengenal bahasa asal (bahasa ibu/pertama), bahasa nasional (bahasa kedua), dan bahasa internasional (bahasa ketiga).
Bahasa asal adalah bahasa pertama kali didengarkan ibu kepada anaknya ketika masih dalam kandungan hingga lahir di dunia. Dengan kata lain, ibu sebagai orang pertama yang mengajarkan kita tentang bahasa sehingga disebutlah bahasa ibu. Jika tidak mengenal bahasa dasar atau bahasa ibu, tentu kita tidak akan pernah berbahasa. Sebab pendidikan pertama yang didapatkan anak datang dari pola asuh seorang ibu. Dengan begitu, terjadi transformasi bahasa dari ibu kepada anaknya atau pemerolehan bahasa yang didapatkan si anak (tidak disengaja, tidak terbatas ruang, dan waktu).
Kemudian bahasa nasional adalah bahasa kedua setelah anak memahami bahasa ibu. Bahasa kedua ini biasanya didapatkan ketika anak duduk di lembaga pendidikan dan diajarkan berdasarkan sistem pendidikan kelas (pembelajaran bahasa). Karena ketika anak beranjak usia lima tahun kemudian masuk PAUD/TK, biasanya guru memberikan alat ajar agar anak bisa membaca dan mengenal huruf. Hal itu berlanjut sampai anak beranjak remaja mengenyam pendidikan sekolah. Sementara bahasa internsional adalah bahasa ketiga ketika anak sudah memahami bahasa pertama atau bahasa kedua yang kemudian bahasa ketiga ini didapatkan berdasarkan pembelajaran bahasa, baik di sekolah maupun di tempat kursus/buku.
Namun, ibu pada zaman sekarang (ibu modern) kebanyakan khawatir atau malu bila anaknya diajarkan bahasa asal (berdasarkan asal si ibu secara sosial, adat, dan suku) sehingga memberikan bahasa pertama kepada anaknya menggunakan bahasa kedua atau bahasa ketiga. Hal itu terjadi di kalangan ibu yang tinggal di perkotaan (urban). Sementara para ibu yang di pelosok desa justru masih mengajarkan anaknya dengan bahasa asal. Inilah pergesekan antarbahasa pertama dan bahasa kedua terjadi. Padahal Indonesia adalah negara kaya dengan beragam budaya, adat, dan suku, salah satunya bahasa. Karena keberagaman bahasa tersebut, maka Indonesia penyumbang bahasa daerah terbanyak kedua (741) setelah Papua Nugini (820).
Artinya tonggak pelestari bahasa tersebut bergantung kepada sosok ibu yang mengajarkan bahasa pertama kepada anaknya (regenerasi penutur bahasa). Dengan begitu, bahasa ibu tidak akan punah bersama perkembangan zaman yang semakin pesat.
Bisa saja sosok ibu modern mengajarkan anaknya dengan ketiga bahasa tersebut (bahasa ibu, bahasa nasional, dan bahasa internasional) sehingga ketiga bahasa tersebut bisa berkembang beriringan satu sama lain, tanpa saling terhegemoni. Karena dominasi antarbahasa justru akan mempersempit perkembangan bahasa lainnya, terutama bahasa ibu yang secara penutur mulai punah.

Kebonsiri, 2015

Muhzen Den lahir di Kampung Ciloang, Kota Serang, dan aktif di Rumah Dunia.



   

Tidak ada komentar: