Kamis, 28 Januari 2016

NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM FILM KMGP

Dewasa ini, perkembangan film Islam mulai marak menghiasi bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. Dimulai dari booming nan fenomenalnya film Ayat-ayat Cinta (2008), disusul Laskar Pelangi (2008), Ketik Cinta Bertasbih 1 &2 (2009), dan Sang Pencerah (2010) yang menjadikan film ini banyak ditonton dengan daftar penonton mencapai jutaan orang. Kemudian berlanjut ke film Perempuan Berkalung Sorban (2009), Hafalan Salat Delisah (2011), Negeri Lima Menara (2012), 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), Assalamualaikum Beijing (2014), dan Surga yang Tidak Dirindukan (2015), yang menandakan bahwa film beraromakan Islam tak pernah surut dan banyak disukai para penontonnya.
Belum lama ini film Islam kembali tayang di bioskop yang sejak diwacanakan akan difilmkan sudah ditunggu-tunggu para penonton, yakni Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP), sebuah film adaptasi dari cerpen dengan judul yang sama karya Helvy Tiana Rosa.
Film KMGP unjuk diri ambil bagian dalam semarak dakwah Islam lewat media film untuk membentengi umat Muslim dari gempuran budaya Barat dan perkembangan ilmu teknologi yang semakin canggih. Sebab zaman modern ini umat manusia, khususnya Muslim, terbuai dengan segala macam produk instan sehingga terlena dan lupa karena bahwa dirinya sedang terpengaruhi budaya asing. Karena itu, film Islam selain menjadi alternatif hiburan, juga sebagai ruang pengingat akan nilai-nilai agama agar iman umat Muslim semakin kokoh.
Film KMGP bercerita tentang tokoh Mas Gagah Perwira Pratama atau Mas Gagah berjuang memperbaiki diri dan lingkungannya dengan agama dari gempuran perkembangan zaman yang semakin pesat, terutama pergaulan bebas. Sejak ayahnya meninggal, Mas Gagah berupaya menjadi sosok pemimpin di rumah, terutama untuk adiknya Gita. Mas Gagah menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja menjadi model, pekerja lepas, dan lainnya, untuk membantu mamanya.
Namun, ketika Mas Gagah memutuskan pergi ke Ternate, Maluku, untuk urusan penelitian skrpisi. Mas Gagah sepulang dari Ternate menjadi pribadi yang berubah drastis setelah bertemu dengan Kiai Gufron. Mas Gagah menjadi pribadi tenang, berserah diri, rajin beribadah, dan menjauhi hidup bermewah-mewahan (hedonis). Akan tetapi, perubahan Mas Gagah tidak disukai Gita. Gita merasa perubahan Mas Gagah terlalu cepat dan janggal sehingga membuatnya muak dengan embel-embel agama. 
Berbagai macam cara Mas Gagah memberi pengertian kepada Gita tentang pilihannya, tapi Gita meolak. Gita tetap teguh pada pendiriannya bahwa Mas Gagah bukan lagi kakaknya dulu, yakni kakak yang selalu ada dan menuruti apa mau Gita. Konflik antara Mas Gagah dengan Gita melibatkan Mamanya yang juga tidak ingin melihat kedua anaknya bermusuhan sehingga menengahi. Perjuangan Mas Gagah membentengi diri dengan agama tidak mudah. Meskipun Mas Gagah mulai terlibat organisasi masjid dan banyak membantu kaum lemah. Tetapi, ajakan berubah (hijrah) menjadi lebih kepada adiknya selalu dimentahkan. Gita tetap resisten.
Tidak lama, Mas Gagah membuktikan jalan hijrahnya dengan mengabdi untuk masyarakat. Mas Gagah membantu tiga mantan preman di kampung nelayan yang peduli pendidikan terhadap anak-anak dengan mendirikan Rumah Cinta. Melihat Mas Gagah semakin hari menjadi lebih baik, Mama tergerak mengikuti jejaknya. Apalagi setelah menghadiri pembukaan Rumah Cinta di kampung nelayan sehingga membuat Mama semakin yakin untuk hijrah.
Pada suatu hari, Gita sudah tidak lagi mengandalkan jasa kakaknya mengantar-jemput ke sekolah bertemu seorang lelaki  (Yudi) di dalam bus metromini. Lelaki itu perangai dan cara berkatanya hampir sama dengan Mas Gagah, yakni mengajak orang-orang untuk hijrah ke arah lebih baik. Awalnya, Gita terus menolak dan melawan bila bertemu dengan Yudi . Namun, peristiwa demi peristiwa silih berganti menghampiri Gita, terutama ketika Gita di bus ponselnya dicopet kemudian diselamatkan Yudi dan ada insiden penyenderaan. Gita terkesan dengan kebaikan Yudi sehingga mulai mencari tahu tentang Islam.
Dari peristiwa itu, Gita bingung dan bertanya-tanya tentang hal yang menimpa dirinya. Apalagi di sekolah teman satu kelasnya, Tika, juga berubah memakai jilbab karena dekat dengan anak Rohis. Sepulang dari sekolah Gita justru mendapati Mamanya mulai mengenakan jilbab karena alasan sudah mendapatkan hidayah. Pada adegan ini menjadi adegan terakhir dalam film KMGP dengan ujung cerita menggantung (open ending).

Kebaikan dan Etika Keagamaan
Cerita pendek Ketika Mas Gagah Pergi merupakan cerpen yang ditulis Helvy Tiana Rosa sejak tahun 1992 dan pernah terbit di Majalah Annida pada 1997. Dalam kurun waktu dua puluhan tahun tersebut, naskah cerpen Ketika Mas Gagah Pergi masih relevan dengan kondisi masyakarat sekarang. Terlebih, setelah diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama akan menjadi lebih mudah diapresiasi.
Menurut T.S. Eliot, seorang penyair Inggris mengatakan, ukuran nilai suatu karya sastra harus dilihat dari aspek etika dan keagamaan. Bila ada gagasan atau semacam kesepakatan dalam suatu masyarakat tentang etika keagamaan, maka karya sastra haruslah “baik” sesuai dengan etika keagamaan tersebut. Karena itu, mulai dari naskah teks sampai menjadi sebuah media digital (audio-visual/film) karya Helvy Tiana Rosa mengandung nilai kebaikan dan etika keagamaan sehingga layak dikaji/diapresiasi, baik dalam bentuk teks maupun film.
Nilai kebaikan dan etika keagamaan dalam film KMGP itu bisa tampak dari adegan saat Gita mengetuk pintu kamar Mas Gagah dan tidak dijawab oleh Mas gagah. Gita melihat ada stiker tulisan Arab gundul di pintu kamar kemudian mengucapkan “Assalamualaikum” dan dijawab Mas Gagah “Walaikumsalam”. Nilai berikutnya saat adegan Mas Gagah memutar musik Islam atau beraroma agama di tape recorder mobil sambil melafalkan hafalan surat Alquran, tapi minta ganti oleh Gita karena tidak mengerti serta kurang ngetren. Mas Gagah pun menjelaskan bahwa musik beraroma Islam atau agama bermanfaat untuk hati/iman dibandingkan dengan musik lainnya.
Selain itu, ketika adegan tokoh Yudi berdakwah di dalam bus ketika di bus itu juga ada Gita. Yudi mengutip sebuah hadis Rasulullah bahwa “Sampaikanlah ilmu walaupun hanya satu ayat”. Atau ketika adegan Mas Gagah memberi wejangan kepada Tika tentang kebaikan dan etika agama “Meskipun pilihan seseorang berbeda, tetapi kita harus menghargainya”. Hal itu jelas film KMGP sarat dengan nilai-nilai yang dijabarkan di atas. Dengan begitu, kiranya kita sebagai pembaca maupun penonton bisa mengambil hikmah dan pelajaran dalam film beraromakan Islam.
Sayangnya, beberapa adegan di film KMGP tampak janggal pada potongan-potongan alur ceritanya. Selain itu, motif-motif permasalahan yang dihadirkan atau secara sebab-akibat (kasuistik) pengemasannya kurang lembut sehingga seperti dipaksakan. Namun, bukan berarti mengurangi esensi dari film tersebut. Bagi para penonton yang belum menonton atau sudah harus baca teks cerpennya agar lebih paham secara mendalam. Semoga pada sekuel film berikutnya, KMGP #2, akan lebih baik lagi. Salam literasi.

Kebonsirih, Januari 2016    

(*Muhzen Den adalah pemuda Kampung Ciloang yang mengabdi menjadi relawan di Rumah Dunia. Alumni Prodi Diksatrasia FKIP Untirta ini sehari-hari bekerja sebagai pemungut kata-kata di perusahaan media di Jakarta. Nomor ponsel yang bisa dihubungi: 087877334187 atau fb: Muhzen Den dan @jaeni_de2n




Tidak ada komentar: