Minggu, 26 Oktober 2008

BIARKAN PEMULA MENAPAKI DUNIANYA

Gejala kepenulisan di Banten mulai tampak dan mengada. Beberapa tulisan anyar yang ditulis oleh penulis muda Banten, banyak memenuhi rubik budaya di media lokal, baik berupa cerpen, puisi, dan esai. Mereka begitu bergejolak dan bersemangat dalam menekuni dunia menulis sehingga ada kewajaran jika para pembaca bingung menginterpretasikan siapa cerpenis, penyair, dan esais. Sampai-sampai terpetiklah pemahaman dangkal dari benak pembaca bahwa setiap karya penulis pemula yang dimuat di media lokal sudah layak dianggap dan berhak menyandang titel sebagai cerpenis, penyair, dan esais. Padahal itu belum tentu diterima pemula, karena secara mendadak dan berat hati harus mengemban nama besar itu.
Keberadaan para penulis muda yang mulai mewarnai kolom budaya media lokal. Jangan sampai disalahartikan oleh para senior sebagai kompetitor krusial dan penting ditindaklanjuti kekaryaannya. Cukuplah senior memperhatikan dari luar sebagai pembaca dan sesekali memberi wejangan sehat agar penulis pemula semakin bersemangat dalam berkarya. Setelah benar-benar kuat dan menapak ke bumi, barulah senior ikut turun tangan memberi perhatian lebih dekat lagi dan menyisir ke beberapa wilayah kesalahan yang harus diperbaiki.

Biarkan mereka “penulis pemula” melayang bebas menggunakan sayap-sayap kepenulisannya. Mengelilingi dunia imaji-imaji dini sampai kepuncak realitas kehidupan sebenarnya sehingga persoalan-persoalan yang disinggung mengenai kekurangpedulian penulis pemula dalam menulis dari segi sosial, politik, dan budaya, akan mudah ditemukan. Kini saatnya penulis pemula menemukan jati dirinya, karena kekurangstabilan emosi membuat mereka terlena dan menikmati sisi kehidupannya. Bukan berarti mereka tidak peka terhadap peristiwa yang sedang terjadi di lingkungan sekitarnya. Mereka peka, tapi ada kesukaran “bukan keakuannya” ketika menulis bertema sosial, politik, dan budaya dibandingkan dengan saat menulis bertema cinta atau sisi kehidupannya.

Penulis pemula butuh waktu menyesuaikan diri dalam menekuni dunia baru itu. Mereka butuh sebuah ruang nyaman dalam mengeksplorasikan dan mengekspresikan dirinya agar  menemukan puncak-puncak pelampiasan jiwa di dalam dunia kepenulisan. Bukankah sebenarnya menulis adalah suatu aktivitas menyehatkan hati dan pikiran agar mereka “penulis pemula” arif memaknai sebuah peristiwa hidup dengan cara yang positif.

Membaca tulisan esai secara beruntun dimuat di Radar Banten dalam waktu tiga pekan ini, yang polemik tulisan berjudul Cermin Buram Kepenyairan Banten (22/6) oleh Niduparas mengawali sebuah permasalahan. Kemudian ditimpali oleh Ita R. Alawiya dengan tulisan Karya Sastra Tak Seharusnya Dijajah Tema (29/6) dan Rahmat Heldy HS pun ikuti berseloroh lewat tulisan Cermin Bening Kepenyairan Banten yang berlawanan dari tulisan Niduparas.

Dari tiga tulisan yang dimuat di koran lokal dan ditulis penulis pemula tersebut. Bahwa telah menguak ketenangan dan kesunyian dunia kepenulisan di Banten, khususnya dunia kepenyairan. Mereka yang muda berharap ada gejolak polemik ini dapat mengasah argumentasi mereka dan mempertajam pena kepenulisan sehingga ramailah ranah kepenulisan di Banten yang sepi agar bergejolak kembali. Biarlah kali ini penulis muda membuat perdebatan yang sebenarnya tidak ada pucuk permasalahan. Asalkan tidak terjadi hal-hal menyimpang dari jalur merah dunia kepenulisan. Lebih baik berdebat atau berpolemik dengan cara seperti ini, karena ada unsur pembelajaran berpikir yang kritis.

Cermin Buram Kepenyairan Banten, Karya Sastra Tak Seharusnya Dijaja Tema, dan Cermin Bening Kepenyairan Banten. Ketiga judul tulisan tersebut sebenarnya tidak ada maksud menyinggung para penyair tulen (dewasa, tua juga boleh). Hanya saja bertujuan mempertanyakan status kepenyairan di Banten masih adakah? Supaya saya, kami, atau kita sebagai penulis pemula sekaligus regenerasi tersebut tumbuh menjadi tunas yang kokoh. Selain itu, tulisan di atas juga menjuru pada memotivasi dan membuat variasi tema agar semangat menulis yang sedang terjadi di kalangan penulis pemula terus bergelora. Mungkin dengan cara seperti ini dapat memancing penulis pemula ataupun penulis tulen untuk terus menulis.

Aktivitas menulis bukan sekadar menulis yang tersekat oleh peraturan-peraturan rumit. Aktivitas menulis adalah sebuah kebutuhan alamiah terjadi di dalam diri setiap insan kehidupan. Baik itu penulis pemula yang tidak ingin disebut diri penyair, cerpenis, atau esais, dan juga penulis tulen yang merasa dirinya layak disebut penyair, cerpenis, dan esais. Sah-sah sebuah anggapan itu dilontarkan, selama pembaca menganggap genre sebuah tulisan itu tak lepas dari penulisnya sendiri. Ayo menulis!
* * * *
Rumah Dunia, 7 Juli 2008

Tulisan ini pernah dimuat di Radar Banten edisi Minggu, 19 Oktober 2008

Tidak ada komentar: